Peranan Pondok Pesantren dalam Memajukan Pendidikan Nasional

Peran pesantren dalam memajukan pendidikan nasional telah membuktikan eksistensinya. Keperipurnaan pondok pesantren harus dipahami dan dilihat dari berbagai aspek.
Pada awal tahun70-an, sebagian kalangan menginginkan pesantren memberikan pelajaran umum bagi para santrinya. Hal ini melahirkan perbedaan pendapat di kalangan para pengamat dan pemerhati pondok pesantren. Sebagian berpendapat bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang khas dan unik harus mempertahankan ketradisionalannya. Namun pendapat lain menginginkan agar pondok pesantren mulai mengadopsi elemen-elemen budaya dan pendidikan dari luar.
Dari dua pandangan yang berbeda tersebut, terlahir pula keinginan yang berbeda di kalangan para pengelola pesantren. Kelompok pertama menginginkan agar pesantren tetap mempertahankan posisinya seperti semula dengan sistem yang khas. Sedangkan kelompok ke dua menginginkan agar pesantren mulai mengadopsi atau mengakodmodasi sistem pendidikan sekolah atau madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren.Akhirnya terjadilah persentuhan antara pondok pesantren dengan madrasah dan sekolah. Dalam sejarah perkembangan pesantren, disebutkan bahwa pondok pesantren, masih berbentuk surau, yang pertamakali membuka pendidikan formal adalah Tawalib di Padang Panjang pada tahun 1921, sedangkan di Jawa adalah pesantren Tebu Ireng Jombang pada tahun 1919 menyusul pondok modern Darussalam Gontor pada tahun 1926.
Pondok pesantren yang memiliki kreteria tertentu dianggap telah mapan, didukung oleh persyaratan yang cukup mapan, seperti bangunan, tanah, guru yang berkompeten, murid-murid yang banyakserta tersedianya tenaga administrasi. Pondok pesantren yang seperti inilah yang dianggap layak untuk mengakomodasi sistem pendidikan formal atau elemen pendidikan lainnya yang berasal dari luar. Sebaliknya, pondok pesantren yang tidak memiliki dan memenuhi kriteria di atas tentu saja tidak bisa memaksakan kehendak untuk mengadopsi sistem pendidikan dari luar.
Selain itu ada beberapa alternatif yang juga dikembangkan di lingkungan pesantren. Ada yang mengakomodasi sistem pendidikan formal ala sekolah umum atau madrasah dengan tetap mempertahankan sistem pendidikan pesantren, dengan memisahkan area untuk sekolah madrasah atau sekolah umum dengan area khusus untuk pesantren. Murid-murid yang bersekolah di sekolah umum pesantren tersebut mengikuti kurikulum pendidikan nasional, seperti mengikuti uas dan uan. Mereka tidak tinggal di asrama, akan tetapi tinggal di rumah masing-masing. Sementara santri yang mengikuti pendidikan pesantren tinggal di asrama dan mengikuti program pendidikan pesantren yang relatif independen dari kebijakan-kebijakan departemen agama dan pendidikan. Guru-guru yang mengajar di pondok pesantren dengan sistem seperti ini secara umum dikategorikan kepada dua kelompok yakni guru-guru yang berasal dari pesantren dan yang berasal dari luar. Umumnya, guru-guru tersebut mengjar pelajaran umum. Contoh pesantren seperti ini adalah Pondok Pesantren Darunnajah Cipining Bogor.
Bentuk atau opsi ke dua adalah pesantren yang menggabungkan sistem pendidikan formal ala madrasah atau sekolah umum lainnya dengan sistem pendidikan pesantren tanpa memisahkan kelas-kelas atau area untuk ke dua sistem pendidikan yang berbeda ini. Para santri tetap tinggal di asrama, mengikuti uas dan uan dan juga mengikuti agenda-agenda kepesantrenan yang tidak terdapat di madrasah atau sekolah lainnya. Guru-guru yang mengjar di pesantren ini relatif sama dengan di atas. Bentuk pesantren yang seperti inilah yang sekarang banyak ditemui.
Akomodasi pesantren terhadap sistem atau elemen pendidikan luar ini tentu saja membawa pengaruh negatif terhadap pesantren itu sendiri:
1. Kehadiran para siswa sekolah atau madrasah di lingkungan pondok pesantren sedikit banyak akan mengganggu aktifitas dan agenda-agenda kepesantrenan. Para santri yang memang ingin mengecap pendidikan pesantren akan merasa tidak betah dengan kondisi yang demikian.
2. Kemungkinan terjadinya kesenjangan antara murid, guru dan pengelola pesantren dengan madrasah atau sekolah umum pesantren besar peluang terjadi.
3. Ada juga kemungkinan bahwa pesantren akan terkucilkan.
Permasalahan status pesantren di antara pesantren, madrasah dan sekolah umum tampaknya dipicu oleh sistem pendidikan nasional yang terlalu lamban mengakui ijazah pesantren yang tidak mengikuti program pendidikan nasional. Terbengkalainya agenda-agenda kepesantrenan sering bermula dari keinginan untuk menggabungkan sistem pendidikan nasional dengan sistem pendidikan pesantren. Pesantren yang begitu padat aktifitas kepesantrenan mau tidak mau harus memikirkan nasib para santri setelah lulus dari pesantren tersebut, sementara ijazah pesantren pada umumnya (kecuali akhir-akhir ini) tidak diakui di perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini tentu memaksa pengelola pesantren untuk tetap mengikuti agenda departemen pendidikan dan departemen agama.
Contoh yang sangat mudah di temui adalah agenda ujian di pesantren, pada umumnya, di pesantren modern yang telah menggunakan sistem kelas mengagendakan dua ujian kepesantrenan dalam setahun. Ujian ini kemudian ditambahi dengan dua agenda ujian dalam setahun yang berasal dari dinas pendidikan atau departemen lainnya.
Contoh lain adalah sistem pesantren yang tidak membagi jenjang pendidikan kepada dua tsanawiyah atau smp dan aliyah atau smu. Santri yang pindah dari pesantren tanpa menyelesaikan pendidikan hingga jenjang terakhir, ketika mendaftar ke madrasah atau sekolah umum, jika ia tidak memiliki ijazah sah nasional, maka ia harus mengulang dari kelas awal.
Akhir-akhir ini, peluang pesantren untuk bisa mengembangkan diri secara independen tampaknya mulai terbuka. Sebut saja seperti lahirnya undang-undang yang mewajibkan pendidikan sembilan tahun, beberapa dekade ke depan besar kemungkinan diwajibkannya pendidikan hingga jenjang SMU dan sederajat.